onselectstart='return false'>

ABDI

Advanced Breakthrough in Developing Ideas

SALAH UCAP BISA BERABE???


Kesalahan Pronunciation [Tidaklah] Berakibat Fatal

Nabi Muhammad pernah berpesan kepada manusia yang artinya “Berkatalah yang baik atau (jika tidak bisa berkata baik) diamlah. Peribahasa Indonesia mengatakan “Mulutmu harimau kamu, yang akan mencercah kepalamu”. Atau, yang serupa dengan itu, Silence is golden, kata orang bule. Semuanya memiliki pesan yang sama; betapa pentingnya menjaga ucapan, kalau hendak mengatakan sesuatu, katakanlah dengan benar.

Suatu saat saya kebetulan ‘nyasar’ ke sebuah situs yang menawarkan paket kilat belajar bahasa Inggris secara on-line. Cukup menarik, baik dari segi tampilan maupun sugesti yang diberikannya dalam menjual produk. Sebenarnya, itu hal yang lumrah. Wong namanya juga dagang, iya toh? Yang membuat saya merasa tergelitik untuk menulis postingan ini ialah pernyataan yang dilontarkan oleh pemilik situs tersebut yang mengatakan lebih kurang begini,”… berapa banyak kesalahfahaman dalam percakapan, khususnya ketika kita berkomunikasi dengan orang asing, disebabkan oleh kesalahan dalam pronunciation (pelafalan/makhraj)…” Misalnya, antara kata dead (mati) dengan dad (ayah), yang disebutkan sebagai contoh (yang masih bisa ditambahi dengan kata that yang juga memiliki kemiripan dalam pelafalannya).

Bicara tentang kata-kata, memang dalam bahasa Inggris ada banyak sekali kata-kata yang ‘mirip’ dalam penyebutan atau pelafalannya. Kata-kata seperti bag – beg – back / sit – sheet – shit / sheep – ship / still – steel – steal hanyalah sebagian dari contoh-contoh yang kita tuliskan.
Sekarang pertanyaannya adalah, apakah memang kesalahan pronunciation akan berdampak kepada kesalahfahaman? Maaf, saya meragukan hal itu!

Bahwa pronunciation tentu saja hanya ada dalam percakapan karena bila kita menggunakan bahasa tulisan maka yang menjadi urusan adalah soal ejaan atau spelling.  Sepanjang kita menulis sebuah kata tertentu dengan ejaan yang benar dan tepat, maka tidak mungkin akan terjadi kesalahfahaman. Bahkan di banyak kasus, meski ejaan yang dituliskan salah atau keliru, pembaca (yang punya nalar dan sense yang baik) masih bisa memahami apa yang dimaksud oleh si penulis. Kok bisa??? Ya bisa … dari konteks kalimatnya!

Penting diingat bahwa ketika kita berkomunikasi, baik secara lisan atau tulisan, kita bukan hanya menggunakan atau menyampaikan sebuah kalimat thok, apalagi cuma sebuah kata. Dari untaian dan rangkaian kalimat-kalimat yang kita utarakan tentunya akan menjelaskan konteks dari apa yang kita bicarakan. Oleh karenanya, ketidaksempurnaan dalam pelafalan ataupun kesalahan dalm pengejaan tidak akan sampai berdampak pada kesalahfahaman.
Mari kita ambil contoh kalimat dengan kata dead  dan dad di atas. Jika kita katakan He is dead maka yang mendengar ucapan kita, terlepas dari sempurna atau tidaknya cara kita melafalkannya, mestinya faham bahwa yang kita maksudkan ialah kalimat yang berarti ‘Dia meninggal’. Kenapa? Sebab tidak mungkin ungkapan itu bisa diartikan dengan ‘Dia ayah’ (He is dad) karena dad ialah sebuah kata kerja (noun)  yang mesti didahului oleh determiner. Kalimat yang mungkin ialah He is my dad. He is your dad dan sebagainya. Di sisi lain, hanya orang tidak pintar saja yang akan memahami kalimat His dad works at an oil rig sebagai His dead works at an oil rig ataupun He is dead works in an oil rig (adanya is mengharuskan kata kerjanya working).

Bagaimana dengan frasa House of The Dead? Bisakah disalahfahami sebagai House of The Dad atau bahkan House of The That? Ya, ngga’ bisa, dong! Penggunaan the sebelum dead (sebagai kata sifat) tanpa diikuti oleh kata benda adalah bentuk pengelompokan suatu golongan (misalnya, the blind = para tunanetra, the poor = para fakir miskin, the rich = para hartawan dan sebagainya). House of The Dad menjadi kabur bukan karena cara pengucapannya melainkan karena perlu ditegaskan dengan jumlah bilangan (number) dari kata dad sebagai kata benda (noun); apakah tunggal atau jamak. Di sisi lain, ini justru lebih mengena, dad sebagai makhluk hidup (living thing) maka bentuk kepemilikan atau possessive yang dipakai ialah dengan aposthrope (‘s) The dad’s house atau bahkan lebih tepatnya dad disebutkan dengan daddy (The daddy’s house). Lalu, bagaimana dengan House of The That? Ha..ha.. yang benar saja… itu mah ngawur namanya. Mosok kata the  diikuti that? Lebay … bay … bay.

Jadi, yang bikin masalah bukanlah soal pelafalannya tetapi justru struktur kalimatnya. Kalau lawan bicara anda jadi salah faham, bukan karena pengucapan anda keliru, melainkan karena dia, atau anda, tidak menguasai kaedah dalam menyusun kalimat. Buktinya, bahkan ketika kalimat itu dituliskan dengan ejaan yang benar sekalipun, kebingungan atau kesalahfahaman itu timbul sebagai akibat dari kesalahan struktur.
Masih ingin contoh tambahan? Perhatikanlah perbedaaan kalimat-kalimat berikut!
a. The paper is in my bag.
b. The paper is in my back. (punggungku = on my back, pakai on, bukan in)
c. The paper is in my back. (di belakangku? Sebut saja dengan behind me)
d. The paper is in my beg.  (permohonanku? Kasihan dech, lo!)

Dari empat kalimat tadi, bagaimanapun cara pelafalan anda, sepanjang bunyinya terdengar sebagai “be(g/k)”, lawan bicara yang ‘pintar’ pasti memahami bahwa yang anda maksud adalah “kertas itu ada dalam tasku” dan tentunya memang itu yang anda maksud. Jika dia salah faham, itu semata-mata karena dia yang tidak memahami struktur bahasa Inggris. Atau, mudah-mudahan saja bukan karena, anda sendiri yang pakai bahasa Inggris asal ceplos.

a.  I still love you. (OK)
b.  I steal love you. (steal = kata kerja, love = kata kerja. Jadi harus ada ‘to’ I steal to love you = Aku mencuri untuk mencintaimu. Ha..ha.. again and again, lebay…bay…bay!!!)
c.I steel love you. (Kalau Krakatau, eh, Remington Steel perlu menyebut begini, maka harus ada pause antara I dan steel sebab pengulangan subjek digunakan untuk emphasis yang dalam penulisan selalu dipisah dengan tanda baca koma(,) I, Steel, love you.

Asal bunyinya masih ‘stil’ maka yang mendengar pastilah faham bahwa anda sedang mengatakan ‘aku masih mencintaimu’ sebab anda tidak perlu mencuri untuk menunjukkan kecintaan pada seseorang dan tentu saja karena anda bukan Remington Steel.
Dari contoh-contoh di atas, jelas terlihat bahwa pronunciation atau pelafalan/makhraj bukanlah sesuatu yang begitu ‘mendasar’. Lebih dari itu, ketika kita sedang berkomunikasi lisan secara langsung, kita bisa menggunakan gesture  atau body language yang sangat membantu bagi lawan bicara memahami maksud ucapan kita. Maka, anda tidak perlu terkecoh dengan sugesti yang mengatakan bahwa kalau salah pengucapan bisa berakibat salah faham. 

Yang berpotensi menimbulkan kesalahfahaman adalah ketika kita mengutarakan kalimat demi kalimat tanpa aturan (akibat tidak atau belum mengertinya kita bagaimana cara membuat kalimat) sehingga struktur yang kita gunakan tidak standar, meski – terus terang – ini juga kadang tidak sampai berakibat fatal. Kemungkinan lain, kesalahfahaman bisa timbul apabila kebetulan anda, sebagai pemilik situs yang sedang saya komentari, tidak berlapang dada dalam menerima kebenaran fakta yang saya tuliskan dalam tulisan ini. Mudah-mudahan tidak sampai begitu, ya, Bro! 

Oh ya, tentang perlunya menjaga lisan atau ucapan tadi maksudnya bagaimana? Well, pesan yang disampaikan adalah bahwa apabila kita ingin mengatakan sesuatu maka yang kita katakan haruslah sesuatu yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, "...kalau ngomong, jangan asal (dan) kalau asal, jangan ngomong...."


Salam sukses selalu ….